Pages

Monday, October 26, 2009

Setimbang, bukan seimbang

Kompas hari ini (Senin, 26 Oktober 2009) pada halaman 14 berisi artikel berjudul Upaya Prediksi Gempa yang ditulis oleh Yuni Ikawati. Artikel ini menjawab sebagian besar pertanyaan orang awam seputar 'keanehan' sebelum dan sesudah gempa terjadi. Beberapa hari yang lalu ada seseorang teman yang bertanya, 'kenapa habis gempa mesti hujan lebat?'. Pertanyaan ini bagi sebagian orang akan bersifat religius, anda tentu paham maksud saya. Bagi sebagian orang lagi pertanyaan ini harus dicari jawabannya. Artikel yang ditulis Yuni Ikawati di Kompas ini dapat menjawab sebagian dari pertanyaan Anda. Intinya ialah bahwa sebelum gempa, terjadi pergeseran batuan-batuan bumi. Gerakan ini akan mempengaruhi aktivitas magma yang nantinya akan meningkatkan gelombang elektromagnetik yang terpancar. Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang dihasilkan dari perubahan medan magnet den medan listrik secara berurutan, dimana arah getar vektor medan listrik dan medan magnet saling tegak lurus (sumber: http://free.vlsm.org/v12/s
3-4a.htm). Teori Maxwell, yang kalau diutarakan di sini pasti akan sangat membosankan, dapat Anda baca sendiri. Di artikel Kompas ini juga disebutkan bahwa ada lonjakan elektromagnetik sekitar 5 milivolt sebelum terjadinya gempa di Lampung/Bengkulu. Penyimpangan sebesar 5 milivolt itu bahkan terpantau di lapisan ionosfer yang berada 300 sampai 400 km di atas permukaan bumi. Anda bisa bayangkan 400 km itu adalah kira-kira jarak antara Kota Jogja dan Bandung. Gelombang elektromagnetik itu akan mempengaruhi pola-pola awan. Awan yeng menyebabkan hujan adalah awan jenis Komulonimbus yang letaknya (hanya) 6000m-9000m dari permukaan bumi (sumber: http://oeank.multiply.com/
journal/item/12). Jarak itu masih terpengaruh oleh gelombang elektromagnetik (seperti yang kita tahu bahwa terjadinya petir pun karena adanya ion-ion positif dan negatif di lapisan atmosfer).

Kembali ke pertanyaan teman saya tadi di atas, saya waktu itu menjawab bahwa pergerakan lempeng-lempeng di bumi menyebabkan terjadinya faktor x (saya tidak tahu apa faktor x ini) yang menyebabkan kandungan garam naik ke permukaan laut dan ikut menguap sehingga larutan elektrolit yang terkandung di dalamnya menyebabkan hujan yang lebat. Dilihat dari artikel Yuni Ikawati di Kompas, jawaban saya saja sudah ada perbedaan dengan artikel itu. Mungkin saja jawaban saya ini salah, tapi apa salahnya jawaban salah? Saya pernah mendengar seseorang mengatakan, 'lebih baik diam saja dan dianggap tak tahu apa-apa, daripada tahu tapi disalahkan'. Saya sama sekali tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Menurut saya itu menggambarkan mental kura-kura dalam tempurung, pura-pura tidak tahu. Saya lebih baik salah tapi dapat mencegah pemikiran lain yang lebih buruk. Apakah pemikiran yang lebih buruk itu? Tentunya pemikiran yang bersifat religius tapi justru tidak berjiwa religi. Orang selalu mengimpikan 'faktor X' sebagai pelarian dari ketidakmampuan mereka menjelaskan sesuatu. Sudah jadi rahasia publik bahwa ilmu pengetahuan dan religi susah sejalan. Ilmu pengetahuan menjelaskan hal-hal yang dianggap oleh orang-orang dulu tak bisa dijelaskan. Para ahli fisika sekarang bisa membuat hal-hal yang dianggap mustahil. Bahkan penciptaan alam semesta pun bisa disaksikan di laboratorium. Maka, pernyataan-pernyataan yang bersifat religi (tapi tak berjiwa religi) dengan mudah bisa dilibas oleh penjelasan Yuni Ikawati di Kompas hari ini. Kenapa hujan sering muncul sebelum dan sesudah gempa? Mengapa ada pola awan yang aneh? Jika Anda mau berpikir kritis, Anda akan menemukan jawabannya.

Beberapa minggu yang lalu saya menulis wacana berjudul Jogja Light ON(ly an ineffective?), yang berisi kekritisan saya dalam melihat kebijakan pemerintah di kota saya sesuai dengan bidang saya. Ada berbagai tanggapan, ada yang setuju, ada yang netral, ada yang tidak setuju. Itu semua tak masalah bagi saya. Saya ingin mencoba berpikir kritis. Saya ingin mencoba untuk melihat sesuatu tidak hanya melalui perspektif saya, tapi juga perspektif orang lain. Tadi pagi saya mendapat tanggapan dari seorang teman yang tinggal di Jakarta, bahwa aturan penyalaan lampu motor di siang hari dapat membantunya untuk meningkatkan kewaspadaan. Ada juga yang menyatakan bahwa lebih baik kita tunggu hasilnya. Kemarin ada komentar di blog saya yang menuliskan bahwa tidak masalah setuju atau tidak setuju, asal tidak asal omong. Wah saya mengucapkan banyak terima kasih atas kritikan dan tanggapan. Saya hanya ingin berlatih kritis dengan fakta, bukan asal kritis tapi OMDO (omong doank), talk more do less. Kalau salah, tentu ada orang lain yang akan memberitahu yang benar. Kalau saya diam saja, tentu saya tidak akan tahu apa yang benar.

Sebagai penutup, saya ingin menuliskan sebuah kisah. Gubernur suatu daerah ingin membagikan uang sebanyak 100 juta kepada 2 orang. Orang yang 1 kaya raya, dan yang 1 sangat miskin. Agar adil, sang Gubernur memberikan masing-masing dari mereka 50 juta. Banyak orang melihat, bahwa sang Gubernur adil dan seimbang. Itu, jika melihat dari perspektif diri sendiri masing-masing. Bagaimana jika kita melihat dari perspektif kedua orang kaya dan miskin itu? Si miskin tentu melihat demikian, 'buat apa orang kaya itu menerima 50 juta? seharusnya saya yang miskin mendapat lebih banyak kan? Demikian pula si kaya berpikiran, 'Gubernur ini nggak niat, buat apa duit 50 juta ini diberikan, tabungan saya saja ada 1M'. Tentu lebih baik jika seluruh 100 juta itu diberikan kepada si miskin. Seimbang belum tentu sesuai dengan kenyataan yang ada. Seimbang adalah jika dilihat dari perspektif diri sendiri. Cobalah melihat juga dari perpektif orang lain agar bisa setimbang. Sama seperti anda, sayapun masih belajar untuk dapat melihat dari cara pandang orang lain.

-FIN-

Sunday, October 11, 2009

Lho kok?

Lho masak blog ku dikirain blog spam.. Wah wah,, ga beres ni team blogger. I'm not spam blog!

Saturday, October 10, 2009

Jogja Light ON(ly an ineffective?)

Mungkin tulisan ini hanya menarik dibaca oleh orang yang tertarik di dunia transportasi, atau mungkin Anda yang peduli pada transportasi.
Dalam beberapa hari terakhir ini, orang Jogja khususnya yang sering menggunakan sepeda motor pasti menemukan fenomena di mana banyak kendaraan bermotor terutama sepeda motor yang menyalakan lampu kendaraannya di siang hari saat berada di jalan. Apakah ini? Kebijakan baru yang akan diterapkan di Jogja, yaitu pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu depan selama berkendara. Saya berpikir, "Kok aturan jadul ini diterapkan lagi? Bukankah aturan ini sebenarnya sudah lama, seharusnya kalau mau diterapkan sudah dari dulu. kenapa aturan ini baru diterapkan sekarang?"

Ada baiknya kita kembali ke beberapa tahun lalu, jika Anda masih ingat di mana ada aturan bagi pengendara kendaraan luar kota agar menyalakan lampunya meski di siang hari. Ya, kebijakan yang waktu itu saya anggap sebagai solusi yang cukup cerdas. Saya sendiri di waktu itu cukup sering bolak balik Jogja-Cilacap dan salah satu dari sebagian pengendara yang mematuhi aturan itu. Aturan tersebut cukup efektif. Sebuah penelitan mengindikasikan bahwa terjadi pengurangan jumlah kecelakaan sampai 30% sejak diterapkannya sistem 'light on' tersebut. Well, angka tersebut menunjukkan bahwa adanya keefektifan yang tinggi dari penerapan kebijakan tersebut. Beberapa waktu belum lama ini Kota Surabaya pun memberlakukan regulasi serupa. Bisa dilihat waktu itu respon masyarakat cukup antusias akan adanya aturan baru ini.

Nah, sekarang kota Yogyakarta mencoba menerapkan aturan yang sebenarnya sudah lama ditemukan ini. Menurut saya ini menarik untuk dicermati. Kota Jogja tidak termasuk kategori "luar kota". Luas kota Jogja juga masih lebih kecil daripada Surabaya. Bahkan kondisi lalu lintas di Jogja dan Surabaya sangat berbeda jauh. Ada beberapa hal yang perlu dikoreksi mengenai kebijakan ini.

Memahami PIEV
Dalam sistem transportasi, dikenal istilah jarak pandangan. Jarak pandangan adalah panjang bagian jalan di depan pengendara yang masih dapat dilihat dengan jelas, diukur dari titik kedudukan pengendara tersebut (Suprapto, 1999). Jarak pandangan sangat penting dalam pengaturan sistem transportasi karena begitu mempengaruhi faktor keselamatan pengguna jalan. Salah satu faktor yang mempengaruhi jarak pandang yang diperlukan adalah waktu sadar dan reaksi pengendara. Manusia akan beraksi setalah dia menerima rangsangan. Waktu yang diperlukan itulah yang dinamakan waktu telaah. Waktu telaah meliputi tahapan: perception, intelection, emotion, dan volition (PIEV) (Suprapto, 1999).

Perception: pengendara perlu waktu untuk mencerna/menelaah rangsangan-rangsangan yang diterima baik yang melalui mata, telinga, maupun badan.
Intelection: waktu penelaahan terhadap rangsangan yang diterima.
Emotion: proes penanggapan terhadap rangsangan yang sangat dipengaruhi oleh emosi seseorang.
Volition: kemauan untuk mengambil tindakan-tindakan sesuai dengan pertimbangan yang dimiliki.

Selain itu faktor yang mempengaruhi jarak pandangan dipengaruhi pula oleh waktu yang diperlukan untuk menghindari keadaan bahaya dan kecepatan kendaraan.

Tentu merupakan hal yang sudah umum diketahui, bahwa penyalaan lampu di malam hari adalah untuk menambah jarak pandangan, dan hal tersebut tidak perlu diperdebatkan. Lalu apa guna penyalaan lampu di siang hari? Salah satu faktor PIEV di atas adalah perception. Waktu perception (Tp) sangat dipengaruhi oleh panca indera yang dimiliki manusia. Dalam hal ini penyalaan lampu akan berpengaruh pada indera penglihatan. Cahaya yang ditangkap oleh mata akan meningkatkan tingkat kewaspadaan. Tingkat kewaspadaan akan mengurangi Tp dan membuat manusia bereaksi lebih cepat. Oke, dalam hal ini, sistem light on bisa dianggap cukup efektif. Hanya ada satu kontra produktif, seperti yang telah ditulis di atas. Jogja bukan luar kota, Jogja bukan Surabaya.

Kecepatan
Di luar kota kendaraan melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi. Semakin tinggi kecepatan semakin besar pula jarak pandangan yang dibutuhkan. Waktu reaksi yang dibutuhkan juga semakin cepat untuk menghindari accident. Di Jogja, kecepatan kendaraan di dalam kota berdasarkan pengalaman dan survey, hanya berkisar antara 40-70km/jam. Itupun masih ditambah banyaknya traffic light di setiap pesimpangan jalan besar. Kecepatan sedang dan hampir tidak ada ruas yang panjang untuk memacu kecepatan, merupakan sebuah automatic-help yang patut disyukuri bagi kota Jogja untuk membatasi kecepatan maksimum kendaraan. Di tingkat kecepatan yang tidak tinggi, jarak pandangan yang dibutuhkan juga tidak terlalu banyak. Dalam hal ini, penggunaan sistem Light-On akan tidak efektif.

Model tubrukan
Kecelakaan yang banyak terjadi di dalam kota adalah kecelakaan 1 arah. Artinya, kecelekaan yang melibatkan kendaraan-kendaraan yang menuju ke arah yang sama. Berbeda dengan di luar kota yang kebanyakan diisi kendaraan berkecepatan tinggi dan jumlah jalur yang ada hanya 2 (masing-masing satu untuk satu arah), kondisi ruas jalan di Jogja banyak yang terdiri lebih dari 2 jalur. Di luar kota model penyiapan (penyusulan kendaraan lain) banyak yang memakai jalur untuk arah yang berlawanan, sehingga perlu dipastikan apakah ada kendaraan lain atau tidak di jalur itu. Di dalam kota, penyiapan bisa menggunakan jalur untuk arah yang sama, sehingga kurang begitu diperlukan untuk memastikan kondisi jalur untuk kendaraan yang berlawanan arah. Tidak jarang pula ruas jalan yang sudah dilengkapi dengan median, sehingga memastikan tidak adanya kendaraan yang masuk ke jalur lawan. Posisi lampu, yang berada di depan kendaraan, tentu tidak terlalu efektif untuk kondisi ini. Untuk kendaraan baik mobil mapupun motor masih cukup dengan menyalakan lampu sen atau dikenal istilahnya lampu 'riting' ketika akan menyusul/menyiap agar kendaraan dari arah lawan bisa lebih waspada.

Biaya operasional
Penyalaan lampu di siang hari tanpa disadari akan menambah biaya operasional kendaraan. Biaya pemelihraan dan penggantian lampu juga akan bertambah jika lampu sering digunakan. Tentunya tanpa mengabaikan faktor keselamatan, diperlukan langkah-langkah untuk menemukan solusi yang paling pas buat kota Jogja tersebut. Pajak yang dibayarkan oleh masyarakat seyogyanya digunakan untuk membuat sistem yang mengelola kondisi lalu lintas agar lebih aman dan lebih baik. Penertiban reklame-reklame, pembuatan median khususnya di ruas jalan yang ramai, dan berbagai solusi lainnya yang bisa dicari. Apakah perlu masyarakat yang sudah membayar pajak, dikenakan lagi tambahan biaya operasional kendaraan?

Penutup
Tidak ada maksud apapun dari penulis untuk memprovokasi atau menentang aturan yang sudah atau akan ditetapkan. Penulis juga masih amatiran yang mencoba untuk memberikan pandangan yang berbeda tentang aturan yang akan dilaksakan di kotanya. Penulis berpendapat bahwa mengubah sistem yang ada adalah tugas sebagai orang yang memiliki pengetahuan lebih, tentunya yang dimiliki oleh kota Jogja. Aturan yang ada harus dilaksanakan, karena ada pepatah di mana tanah dipijak di sana bumi dijunjung.

Monday, October 5, 2009

Batavilay, batamerah delay

2 kali pengalaman pertama naik batavilay air semuanya kena delay. Pas hari kamis berangkat ke jakarta, aku udah dateng ke adisucipto jam 1. Jadwal terbang ke jakarta jam 14.25. Check in udah, abis itu masuk ke ruang tunggu di adisucipto. Fyi aku baru pertama kali lho masuk waiting room di adisucipto. Di sini ternyata semua penumpang dijadiin di satu ruangan, dan gate-gate nya juga cuma sebelahan. Aku mikir, gini nih bandara yang katanya berlabel internasional? Ya sudahlah bentar lagi juga berangkat. Terus jam 2 lebih 15 menit, si Andit temenku yang juga bareng ke jakarta, mulai bertanya tanya, kok belum dipanggil ya? Kayaknya delay nih. Akhirnya terdengar pengumuman yang diawali dengan nada 'ding ding ding ding'. "Pesawat Batavilay Air dengan nomor penerbangan bla bla bla.. diperkirakan baru akan sampai ke Yogya pada pukul lima belas dua puluh menit. Owh bentar lagi kok sekarang kan lebih 15 menit. diem--mikir--heh, apa tadi katanya? Lima belas dua puluh? 15.20?? Anjruiit!! Kirain 14.20. Wah taek masih 1 jam lagi!

Pas pulang dari Cengkareng 2 hari kemudian, aku sih udah siap aja kalo mau delay lagi. Kesotoyan-ku memberi kesimpulan batavilay itu identik dengan delay, padahal baru sekali aja naik batavilay ;p. Beneran, harusnya jam terbang ke jogja jam 14.45, tapi sampai setengah tiga lebih kok belum dipanggil, alamat delay lagi ini. Tapi ternyata panggilannya mepet. Lima menit kemudian baru terdengar pengumuman penumpang batavilay tujuan jogja harap naik pesawat. Asik, tumben ga delay. Masuk pesawat juga pas jam 14.45. wogh, on-time juga nih. Tau-tau 10 menit duduk di pesawat, tiba2 ada pengumuman dari mbak berseragam oranye-pramugari batavilay maksudnya. "Maaf, kita belum dapat terbang karena harus menunggu kelengkapan dokumen." Bagh gubrak!!! Delay lagi delay lagi --a
free counters